Bijak memilih Ustadz di era millenial

Rasanya lama sekali saya tidak "curcol" di blog ini, setelah kesibukan semester 1 yang cukup menguras waktu. Tulisan ini sengaja saya buat sebagai reminder diri saya pribadi agar kelak bisa lebih kritis lagi dalam memilih informasi yang baik di era saat ini. 
Mencuatnya kasus seorang yang katanya Ustadz berinisial EE yang diduga telah melecahkan nabi Muhammad SAW tak pelak membuat saya kecewa sekaligus bersyukur. Di satu sisi, saya kecewa kepada para netizen (warga net) yang dengan gampangnya menasbihkan seseorang menjadi Ustadz. Di sisi lainnya lagi, saya bersyukur karena keraguan saya selama ini terjawab alias sedari awal saya memang tidak yakin dengan kapasitas orang tersebut. Setidaknya ada hikmah yang bisa saya dan pembaca ambil dari kasus ini, supaya kita lebih kritis lagi. Dengan kata lain, kita jangan langsung menelan mentah-mentah setiap informasi yang masuk, tapi harus menyaringnya terlebih dahulu hingga bersih dan layak untuk dikonsumsi.

picture : www.baitulmuhsinin.com
Disadari ataupun tidak, semakin berkembangnya teknologi informasi di masyarakat, semakin haus pula kebutuhan masyarakat tersebut akan ilmu agama. Kehausan ilmu ini dengan mudah dapat terpuaskan hanya dalam genggaman sebuah gawai. Banyaknya sumber-sumber kajian ilmu di media sosial seolah-olah bagai oase di tengah padang pasir. Hal ini seolah-olah memberi ruang kepada oknum tertentu yang pandai beretorika dan mengambil hati para netizen, dengan bermodalkan kemampuan retorika dan beberapa ayat dan Hadits yang "umum" mereka sudah sangat percaya diri tampil di depan publik. Herannya lagi, dengan mudahnya mereka mendapat julukan ustadz. 
Kata Ustadz dalam bahasa Arab bermakna guru, biasanya disematkan kepada orang yang mengajar ilmu agama. Di negera Arab sendiri, istilah Ustadz punya kedudukan yang sangat tinggi. Hanya para Doktor yang sudah mencapai gelar profesor saja yang berhak diberi gelar Al-Ustadz (www.eramuslim.com). 
Nah lho, lalu apa yang salah dari hal ini? saya pribadi sangat berhati-hati dalam belajar ilmu agama. Memang dakwah bisa dilakukan siapapun tapi harus dengan dasar agama yang kuat agar tidak salah kaprah. Saya pribadi tidak akan dengan mudah menyebut seseorang dengan sebutan Ustadz, namun saya juga akan sangat legowo menyebut seorang sebagai Ustadz apabila sudah mengetahui sejauh mana kapasitas keilmuannya. Mudahnya, hal ini bisa kita lihat dari background pendidikan agamanya, meskipun itu bukan satu-satunya tolak ukur. Jadi, alangkah baiknya kita melihat dulu sejauh mana kapasitas keilmuan orang tersebut sebelum memberi gelar Ustadz. Jangan dengan mudah terbius dengan penampilan dan retorika yang memikat lalu kita dengan mudah menelan mentah-mentah ilmu yang diberikan. Belajar agama itu wajib, tapi sikap kritis juga sangat diperlukan agar sumber ilmu yang kita peroleh terpercaya dan memberi keberkahan. Waallahu a'lam bishowab...

Sekedar informasi, sebenarnya Kementerian Agama telah merilis daftar 200 nama mubaligh atau penceramah islam di Indonesia yang bisa dijadikan sumber rujukan. Meskipun pada akhirnya kembali pada preferensi masing-masing individu. Berikut saya share linknya. Semoga bermanfaat. 





No comments

Powered by Blogger.