Cerpen : Lelaki Tua dan Selembar Foto



Oleh:
Muhammad Ansori 
Sejak pagi langkah lelaki tua itu belum juga berhenti. Meski panas matahari kian menyengat, dia terus berjalan kaki menyusuri jalan. Peluh mulai bercucuran di keningnya. Sejenak dia menghentikan langkahnya di sebuah gardu tua di pinggir jalan masuk sebuah kampung. Dibenamkan tubuhnya di lantai gardu itu. Dipandangi lagi selembar foto yang selalu dibawanya sepanjang perjalanan. Selembar foto gadis kecil berambut keriting, mengenakan kaos kuning dan rok biru. Foto itu selalu menjadi penyemangat dan memberikannya keyakinan bahwa apa yang telah pergi dari hidupnya akan kembali.
Sumber gambar : www.majalahayah.com
Tak terasa sudah sebulan ini lelaki tua itu berjalan kaki dari kampung ke kampung. Berbekal sebuah tas ransel kecil di bahu yang berisi foto beserta benda-benda kesayangan gadis kecilnya, sebuah boneka beruang putih,  pita rambut berwarna kuning dan sepatu kecil berwarna merah muda, selalu menemani perjalanannya. Puluhan lembar uang warna-warni pun sudah dia siapkan, meskipun kini hanya tersisa beberapa lembar saja. Di setiap kampung yang dikunjungi, dia berharap akan ada berita baik tentang masa depan gadis kecilnya. Gadis kecil pelita hidupnya.
 Suara ramai sekumpulan orang menuntun lelaki tua itu ke sebuah warung di pinggir jalan kampung yang tak jauh dari gardu. Warung sederhana dari bambu itu menjual kopi dan gorengan. Pada siang hari pengunjung warung kopi itu cukup ramai. Beberapa orang lelaki paruh baya sengaja menghabiskan waktu siangnya untuk sekadar minum kopi dan bercakap ngalor ngidul. Sebagian duduk di dalam dan sebagian  di depan warung. Lelaki tua itu masuk ke warung. Baju lusuh dan tatapan kosongnya menjadi pusat perhatian pengunjung warung.
“Permisi, apakah Bapak ada yang pernah bertemu dengan anak kecil ini?” tanya lelaki tua itu kepada  pengunjung warung seraya menyodorkan foto gadis kecilnya.
“Saya tidak pernah bertemu. Foto siapa, Pak?” tanya salah seorang pengunjung warung.
“Ini foto anak saya yang hilang dua bulan lalu. Terakhir kali dia ijin bermain bersama Nita dan Rudi, teman sekolahnya. Sampai saat ini dia belum kembali. Saya sudah mencarinya ke sana kemari, namun belum menemukannya. Dia masih kecil, saya takut dia kelaparan dan kedinginan. Saya juga takut dia menangis di jalan sendirian” jawab lelaki tua itu diiringi kesedihan di raut wajahnya.
“Kudengar saat ini banyak kasus penculikan anak? Mereka dibunuh dan tubuhnya dipotong-potong untuk dijual” celetuk seorang Bapak di depan lelaki tua itu.
“Betul, kudengar juga begitu. Kita harus lebih hati-hati mengawasi anak kita. Apakah Bapak sudah lapor polisi?” tanya seorang Bapak disebelahnya.
“Polisi tidak peduli dengan keadaan saya. Mereka tidak punya hati. Apa yang saya katakan dianggap lelucon. Saya dianggap tidak waras. Mereka hanya menyuruh saya untuk bersabar. Mereka tidak mengerti perasaan orang tua yang kehilangan anak” jawab lelaki tua itu panjang lebar dengan sedih bercampur emosi.
Merasa tak menemukan jawaban apa-apa di warung, lelaki tua itu kembali meneruskan langkahnya menyusuri kampung. Keadaan kampung yang dikunjunginya kali ini tak jauh berbeda dengan kampung halamannya. Jalanannya banyak yang rusak dan rumah penduduk sebagian besar masih terbuat dari kayu,. Terkadang hal itu membuatnya ingin kembali pulang, namun dia berjanji tak akan pulang sebelum bertemu gadis kecilnya. Apapun yang terjadi, dia percaya akan bertemu dengan gadis kecilnya lagi.
Setelah berjalan beberapa saat, sampailah lelaki tua itu di pinggir lapangan. Lapangan yang ditumbuhi rerumputan hijau itu terletak di antara dua rumah penduduk. Suasana sore itu sedang ramai. Anak-anak kecil berlarian di tengah lapangan. Tertawa riuh penuh kegembiraan. Ada yang bermain bola, bersepeda, dan berkejar-kejaran. Lelaki tua itu sejenak berhenti mematung di pinggir jalan. Matanya memandang penuh pada anak-anak kecil yang sedang bermain. Terkadang bibirnya ikut menyunggingkan seutas senyum kebahagiaan, sedetik kemudian pipinya basah oleh air mata kesedihan. Sesaat, dia  terbawa kenangan akan Mia, gadis kecilnya yang telah pergi. Sebuah episode kehidupan yang sulit dilupakannya hingga detik ini.
***
Sebuah pesta sederhana digelar di sebuah di rumah. Lebih tepat disebut sebagai acara syukuran, bukan pesta. Tak ada meriahnya irama musik, pun tak ada dekorasi pita dan bunga menghiasi ruangan. Rumah kayu bercat putih itu tampak telah sedikit dirapikan sebelumnya. Jajanan wajik, onde-onde, kacang tanah goreng, jenang gula merah sudah disajikan untuk menyambut tamu. Hari itu si pemilik rumah, Parman, sedang bergembira. Tepat di hari itu dia baru saja menyunting gadis pujaannya.
Parman, seorang duda, menikahi Sri lima belas tahun silam. Sri, seorang gadis desa  yang cantik dan lugu, yang tak lain adalah tetangganya sendiri. Pernikahan yang telah didambakannya setelah lima tahun lamanya hidup sendiri. Kehidupan mereka memang sederhana. Seorang petani yang setiap harinya menggantungkan hidup dari sepetak lahan yang mereka miliki. Hari-hari pernikahan mereka berjalan indah, namun sembilan  tahun lamanya rumah tangga mereka tak juga dikaruniai  momongan. Parman berdo’a pagi, siang, dan malam agar Tuhan segera memberinya keturunan. Usia Parman kala itu memang mendekati separuh abad, namun keinginannya untuk dikaruniai buah hati sangatlah besar supaya ada yang meneruskan garis keturunannya kelak.
Tuhan akhirnya menjawab do’a Parman. Istrinya mengandung calon buah hati yang selama ini diimpikannya. Kebahagian senantiasa menyelimuti kehidupan rumah tangganya. Namun, kebahagian itu hanya singgah sesaat. Takdir Tuhan berkata lain. Kondisi istrinya yang terus di dera sakit-sakitan selama mengandung, mengakibatkan istrinya meninggal sesaat setelah melahirkan anak tercintanya.
***
“Dug!!....” lemparan bola mengenai pundak lelaki tua itu yang sontak membuyarkan lamunannya.
Seorang anak perempuan berlari mendekat dan memandang wajah lelaki tua itu. Anak kecil yang memakai kaos kuning dan rok biru itu terlihat ketakutan ketika lelaki tua itu tersenyum ke arahnya. Dia berusaha mendekat mengambil bola yang dipegang oleh lelaki tua itu, namun langkahnya terasa berat karena takut. 
“Mia, ternyata kamu di sini, Nak. Bapak mencari kamu kemana-mana. Sini,  Nak, ikut Bapak pulang” lelaki tua itu mengejar dan memeluk anak kecil itu.
“Tolong....!! Tolong...!!” anak kecil itu meronta-ronta, berteriak dan menangis ketakutan ketika tangan lelaki tua itu berhasil mendekapnya. Sontak teriakan anak kecil itu menarik perhatian penduduk kampung. Tak butuh waktu lama para penduduk sekitar berdatangan.
“Penculik,,,,!! lepaskan anak itu” teriak seorang pemuda berbadan tegap diiringi bogeman mentah kearah kepala lelaki tua itu. Penduduk yang lain tak tinggal diam, lelaki tua yang telah terjungkal ke tanah itu dihujani tendangan silih berganti.
“Tolong, saya bukan penculik. Ampuni saya” rintih lelaki tua itu meminta belas kasihan.
“Habisi dia, penculik anak harus mati” teriak salah seorang penduduk.
Pukulan dan tendangan silih berganti menghantam tubuh lelaki tua itu tanpa henti. Rintihan lelaki tua itu tak dihiraukan penduduk. Emosi mereka meluap, termakan isu penculikan anak yang kerap mereka saksikan di Televisi.
“Hentikan!! kasihan dia” teriak seorang Bapak paruh baya berseragam coklat menerobos kerumunan penduduk yang mengeroyok lelaki tua itu.
“Hentikan!! kalian jangan main hakim sendiri atau kalian saya laporkan ke polisi!” teriak lagi Bapak itu lebih keras. Beruntung teriakannya yang kedua dihiraukan penduduk.
“Dia ini penculik, pak Lurah.” teriak seorang pemuda.
“Dari mana kalian tau dia ini penculik. Kalian jangan sembarangan main hakim sendiri”
“Dia tadi tiba-tiba memeluk dan akan membawa lari anak kecil ini, Pak Lurah. Itu kan namanya modus penculikan” jawab seorang warga mencari pembenaran.
“Apapun alasannya kalian tidak boleh gegabah. Ini negara hukum, biar polisi yang mengusutnya.”
***
Puskesmas kecil itu dipenuhi kerumunan orang. Ruangannya yang sempit seakan tak menyisakan ruang. Penduduk yang penasaran kepada lelaki tua yang bernasib na’as itu berdatangan silih berganti. Ada yang mencibir, ada pula yang iba terhadap nasibnya. Sementara di dalam kamar puskesmas itu, aroma darah segar masih terasa. Di atas ranjang kecil terbaring lunglai tubuh lelaki tua itu. Memar nampak jelas di sekujur tubuhnya. Wajahnya semakin tidak ketara dipenuhi dengan luka lebam dan tetesan darah. Baju lusuhnya kini tak berpola, koyak bercampur debu dan tetesan keringat.
Berita korban pengeroyokan yang diduga penculik itu dengan cepat menyebar dari satu kampung ke kampung lainnya. Beruntung, Lurah dan pihak kepolisian cepat menemukan pihak keluarga lelaki tua itu.  Berhari-hari mereka menyusuri satu kampung ke kampung lainnya.
“Dia Paman saya, Pak” terang seorang pemuda yang tidak lain adalah keponakan lelaki tua itu.
“Saya turut prihatin dengan kejadian ini” jawab seorang polisi berempati kepada keponakan lelaki tua itu.
“Paman saya ini sebenarnya mengalami stress yang cukup berat. Sejak anak semata wayangnya meninggal lima tahun yang lalu akibat tabrak lari. Dia terus melamun meratapi kepergian anaknya. Dia tak percaya anaknya telah meninggal. Dia sering mondar-mandir menenteng selembar foto. Menanyai orang-orang tentang keberadaan anaknya. Dia masih yakin anaknya masih hidup. Hingga satu bulan yang lalu, dia kabur dari rumah dan pergi jauh mencari keberadaan anaknya. Keluarga sudah berusaha mencari keberadaannya, namun tak membuahkan hasil” terang keponakan Lelaki tua itu panjang lebar kepada polisi.
***
Rumah kayu bercat putih itu kini kembali terhuni. Tak ada riuh kebahagian di sana, yang ada hanya semburat kesunyian menghiasi rongga ruangan. Lelaki tua itu duduk terdiam di balik jendela rumahnya. Diterangi cahaya redup lampu neon, matanya menatap tajam selembar foto gadis kecil berambut keriting, mengenakan kaos kuning dan rok biru. Air matanya melompat-lompat keluar membasahi pipinya yang berkerut termakan usia. Kenangan episode kelam hidupnya terus berputar di pikirannya, seakan tak mau hilang, dan menenggelamkannya perlahan.
“Bapak, aku di sini” tiba-tiba suara anak kecil di balik jendela itu terdengar lirih memanggil-manggil lelaki tua itu.
“Anakku!!” lelaki tua itu mendongak, membuka jendela, mencari-cari sumber suara itu.
“Bapak, aku di sini” bisikan suara itu terdengar lagi berulang-ulang dan lebih nyata.
“Mia, anakku!!” lelaki tua itu berteriak, melompat jendela. Tubuh rentanya seakan seperti kapas. Dia berlari menelusuri jejak suara itu. Perlahan-lahan sosoknya menghilang ditelan kegelapan malam dengan selembar foto dan kenangan kelam masa lalunya.
 Bojonegoro, 2017


No comments

Powered by Blogger.